Would I Follow Me?

Posted: June 1, 2016 in Cerita Bisnisku, Muhasabah Diri

Kalau mengenang Oriflame mah gada habis2nya hehehe, Rasanya setiap kejadiannya berkesan. Sekarang mau bahas tentang Would I Follow Me? Maukah aku mengikuti “Aku”?

Di Oriflame, setiap orang dididik untuk menjadi leader dan mengembangkan jaringan. Ketika jaringan stuck atau turun, maka kami akan diminta untuk mengevaluasi diri. Tanyakan ke diri sendiri. “Would I Follow Me?” Sebelum salahkan downline, cek diri sendiri dulu. Sudah benar, belum? Sudah merekrut belum? Sudah tupo belum? Sudah membina dengan benar belum? Sudah benar2 ikhlas membantu downline untuk naik level belum? Atau malah malas2an, bisanya hanya nyuruh, koar2 minta tupo? Bayangkan andaikan kita jadi downline, memang mau punya upline malas yang jago merintah2 doang?

Nah dulu setiap sesi evaluasi diri, saya selalu berkata “Yes, I would follow Me.” Karena saya merasa, apa yang saya kerjakan sudah benar. Tupo selalu awal bulan, Rekrut 5-17 orang/bulan. Bina jalan terus. Belajar rajin. Apa yang kurang? Gak ada. Memang belum ketemu sama coreteam yang tepat aja, makanya stuck. Tapi seiring waktu, terus berpikir. “Mana ini coreteam yang tepat kok ga datang2? Aku harus merekrut berapa puluh orang lagi agar bisa menemukan seseorang yang mirip aku?”

Sekarang, setelah berhenti selama 6 bulan, melihat Oriflame dari dunia luar sebagai penonton bukan sebagai pemain, saya baru menyadari suatu hal. Bahwa andai join kembali, saya TIDAK AKAN MAU memilih orang dengan sifat seperti saya sebagai upline :(. Saya baru menyadari ternyata saya punya banyak kekurangan, parahnya bahkan saya membenci beberapa sifat saya yang dulu tidak saya sadari.

Ternyata saya orangnya nyinyir. Status2 saya pedas, tajam, melukai hati. Sok, belagu, merasa benar, orang lainlah yang salah. Walaupun tidak merujuk secara personal, walaupun yang saya bicarakan adalah downline secara keseluruhan, tapi tetap saja tersirat bahwa disana saya sedang nyinyir. Saya jauh dari kerendahhatian dan kesederhanaan.

Ternyata saya orangnya sok pandai. Merasa sudah bisa ini itu karena start belajar lebih dulu. Merasa cepat mengerti karena seorang lulusan S2, bukan SMA. Merasa di “atas” karena aslinya saya seorang karyawan dengan gaji amat cukup. Oriflamers lain walau titelnya sama dengan saya yaitu Director, bisa jadi tidak sepandai saya, tidak secepat saya dalam menganalisis.

Ternyata saya tidak seikhlas yang saya kira. Saya pikir saya 100% ingin downline saya sukses dan naik gaji. Kenyataannya adalah saya lebih peduli pada gaji saya sendiri. Saya tidak begitu perhatian dengan impian mereka. Saya hanya berpikir bahwa tugas saya mengajarkan, kamu bisa atau tidak itu adalah urusanmu. Kalau cepat, ikut saya. Kalau lambat, saya tinggalkan.

Ternyata saya memandang downline hanya sebagai partner bisnis. Setiap ada pertemuan, setiap ada chat dan telvon, hanya bisnis yang dibicarakan. Ketika mereka sakit, anak sakit, terkena musibah, terkena masalah, saya sulit berempati. Hanya mengerti seadanya dan cenderung menganggap itu sebagai excuse mereka untuk tidak giat bekerja saat itu.

Dan ternyata saya melupakan teman2 fisik saya. Saking euforianya dengan Oriflame, saya sampai lupa bahwa sayapun punya teman2 fisik. Saya terlalu sibuk melihat HP. Berjalanpun saya tidak memandang ke depan lagi, tapi ke HP. Setiap saat saya mengetik keyboard HP. Kepala saya selalu menunduk dan tidak peduli lagi dengan keberadaan teman2 di sekitar saya.

Saya tunda sholat karena ingin membina. Saya jamak sholat karena tuponas. Saya bersedekah dengan pamrih mengharap hasil.

Saya ada di sebelah anak saya. Fisiknya ada tapi pikiran saya tidak disana. Setiap anak saya bertanya saya hanya mengomentari “Iya ya? Hebat yaa? Wah, kamu pintar. Oke. Boleh.” Sungguh sangat tidak asyik untuk diajak berdiskusi.

Saya merasa malu sekali T-T. Saya senang mengerjakan Oriflame tapi ternyata saya belum tahu bagaimana mengerjakannya dengan benar. Saya belum tahu bagaimana mengerjakannya dengan hati. Saya tidak mengembangkan bisnis ini sebagai bisnis Berkah Berlimpah Manfaat. Saya hanya fokus dengan hasil tapi belum menghargai proses, Allah, dan keluarga. Siapa yang sudi menjadi downline seorang SAYA? Dih, sayapun ogah.

Would I Follow Me…? .

Sekarang saya terus berbenah. Berusaha memperbaiki diri sembari menunggu saatnya tiba. Tetapkan bahwa tujuan bisnis ini adalah untuk menebarkan manfaat. Untuk membantu orang mencapai impian. Ini demi kamu. Demi kalian. Demi mereka. Memberi-memberi. Sehingga dengan demikian, Allah dan keluarga tidak akan pernah terlupakan lagi.

 

 

Leave a comment