Pernahkah Engkau ke Rumahnya?

Posted: October 3, 2016 in Muhasabah Diri

Saya punya seorang asisten pulang pergi, sudah bekerja 4 tahun lamanya. Suatu ketika ia mengajukan cuti setahun, karena 1.5 bulan lagi mau melahirkan dan ingin fokus mengurus bayinya. Sebagai rasa tanggung jawabnya, ia mencarikan asisten pengganti. Ia panggil saudaranya dari kampung, yang dirasanya cukup bagus untuk menggantikannya, sehingga saya tak perlu lagi repot mencari. Walau ia tak bekerja lagi, kontak tetap terjalin.

Asisten saya ini memang kesayangan. Kerjanya bersih, cepat dan tanggap. Sekali dibilang, ia ingat dan besok2nya langsung diaplikasikan. Tak banyak mengomel, tak suka bergosip. Ia punya suami, seorang penjahit keliling yang mana juga sering saya pergunakan jasanya. Permaknya selalu rapi dan harganya murah.

Sudah 4 tahun bekerja bersama saya, belum pernah sekalipun saya mengunjungi rumahnya loh. Bahwa saya adalah wanita bekerja Senin-Jumat, pergi jam 5 pagi pulang jam 6 sore tampaknya terlalu lebay kalau dijadikan alasan 4 tahun ga pernah berkunjung ya L. Apalagi kediamannya itu bisa ditempuh dengan jalan kaki 10 menitan dari rumah saya. Duluu sekali saya pernah bersama mama berjalan2 ke area kontrakannya, tapi sampai disana, saya temukan kumpulan rumah petak itu sepi. Lalu kami menduga2, kemungkinan ia menyewa rumah petak paling depan karena itulah yang paling tampak rapi. Bukankah selama ini ia selalu bekerja dengan rapi?

Kali ini, ketika akhirnya ia melahirkan, rasanya kalau saya masih juga tak datang ke kediamannya, terasa amat memalukan. Sayapun datang kesana bersama suami dan anak. Bayinya lahir prematur. Niatannya datang ke Puskesmas untuk cek tekanan darah (kebetulan ia pengidap tekanan darah tinggi), kok berujung mules2, eeee tak sampai 2 jam bayinya lahir disana, tanpa bidan dan dokter, dan suami pun sedang tak ada. Untungnya bayi seberat 1.7kg itu tetap sehat, menangis dan menyusui dengan kencang, alhamdulillah.

Jadi kami pun kesana menggunakan motor. Ke kumpulan rumah petak paling ujung, jalan buntu, yang di depannya adalah jurang kecil. Lingkungannya tidak bisa dikatakan safety dan bersih. Ternyata, rumah petaknyapun bukanlah yang paling depan seperti sangkaan saya dulu, melainkan yang paling ujung. Kami kesana, dan di teras kecilnya ada begitu banyak kain2 berserakan. Kain2 yang harus dipermak suaminya yang berprofesi penjahit itu. Suaminya yang kebetulan ada di teras menerima kami dengan senyuman dan mempersilakan kami masuk ke dalam.

Ruangan dalam yang sempit dan agak pengap, karena udara tidak mengalir dengan leluasa. Dimana2 ada barang berserakan. Dindingnya kusam dan banyak coretan. Tidak ada kipas angin. Sukses membuat kami seketika itu juga mengucurkan bulir2 keringat. Ia kaget dan menyambut kami. Menunjukkan bayinya yang sedang tidur nyenyak di atas sehelai kasur yang tipis, diselimuti seprai yang tampak belel.

Saya tercenung. Motif seprei ini…saya tampak hafal. Ya Allah, ini kan seprei saya dulu. Saya ingat saya merasa seprei itu warnanya sudah pudar. Saya letakkan di tempat barang afkiran, dimana asisten2 saya boleh mengambilnya, atau memberikannya pada orang lain, atau kalau tidak ada yang mau bisa dibuang. Ternyata ia mengambilnya dan ini….ini sudah pudaaaar sekali warnanya. Masih ada ya orang yang mau memakainya? Saya diam dan kami mulai berbincang tentang kondisi bayi. Alhamdulillah sehat, sudah naik 1 ons dalam seminggu, walau sampai sekarang belum boleh mandi. Namanya.. Muhammad Agam Abdillah, semoga ia menjadi anak yang sholeh.

Sambil berbicara saya melempar pandangan ke sekeliling, lalu saya temukan ada handuk yang tergantung. Deg! Lagi2..saya tampak kenal handuk itu. Itu kan handuk mandi saya yang saya afkirkan karena ada yang sobek. Dan sekarang itu ada disini. Saya jadi penasaran dan mulai curi2 pandang lagi, siapa tahu ada lagi mantan barang afkiran saya disini, tepat di saat Alif bilang, “Bu aku kepanasan..”. Aduh anak ini, terlalu terbiasa di ruang ber-AC kali ya, atau saya yang ga pernah melatihnya untuk ngomong bisik2, malu deh saya L. Tapi untuk saya yang tipikal penyuka udara hangatpun, ruangan ini memang termasuk panas. Kami tepuk2 Alif untuk bersabar, lalu karena memang sudah agak lama disana, kamipun sekalian pamit.

Dalam perjalanan menuju ke rumah saya berpikir panjang. Saya tahu, bahwa asisten saya tingkat ekonominya di bawah saya. Tapi tidak pernah terlintas sampai sebawah itu. Saya tahu mereka orang yang membutuhkan tapi tidak terpikir bagi saya bahwa mereka memang sebutuh itu. Alhamdulillah, kami menggaji mereka dengan amat baik dan kamipun bukanlah majikan yang rewel, tapi tetap saja saya seperti merasa ditampar. Saya selama ini berpikir bahwa mereka kehidupannya lebih baik daripada itu, padahal ternyata belum.

Saya ingat asisten saya bercerita bahwa di rumah petaknya suka kekurangan air dan pemilik kontrakan tampak tidak peduli. Bahwa tanah di belakang rumah petaknya sudah tinggi dan kalau hujan airnya akan merembes masuk ke sela2 dinding mereka yang retak. Saya dengar dan ingat ceritanya tapi tidak pernah terbayang seperti apa kondisinya. Kebanyakan naik mobil, kebanyakan jalan ke mall, kebanyakan makan di café dan restoran, kebanyakan membeli baju bagus, kebanyakan keliling2 hanya di tempat2 yang berpemandangan indah rapi dan bersih, telah membuat sense saya terhadap lingkungan sosial ekonomi menurun. Lupa bahwa ada banyak orang yang tidak bisa mengecap semua hal yang saya anggap normal dan lazim itu.

a

Pengalaman ini seperti peringatan Allah bagi saya, dengan cara-Nya yang halus.  Fa-biayyi alaa’i Rabbi kuma tukadzdzi ban…maka nikmat Tuhan-Mu yang manakah yang kamu dustakan? Masihkah engkau mengeluh dengan kondisimu sementara ada begitu banyak orang yang ingin sekali menjadi dirimu saat ini?

Maka merasa cukupkah engkau bersedekah selama ini?

Maka apakah engkau merasa harta yang kau tumpuk2, kemewahan yang kau nikmati lebih berharga daripada senyum “kecukupan” di wajah mereka? Semoga Allah menjadikan kita sebagai ahli syukur, aamiiiin.

*gambar diambil dari Google

 

Leave a comment